investasi Reksadana – Perubahan yang cepat pada tehnologi info dan komunikasi, sudah memutar dan mendisrupsi kegiatan ekonomi yang sebelumnya. Ada perusahaan lama yang berubah dengan adopsi tehnologi pada proses usahanya, ada pula yang semenjak awal pendirian telah berbasiskan tehnologi.
Beberapa perusahaan yang lakukan alih bentuk di atas dikatakan sebagai bidang New Economy.
Contoh perusahaan e-commerce yang telah kita kenal seperti Bukalapak, Tokopedia, Blibli, Lazada Shopee, selanjutnya terkait seperti Bank Digital, pergudangan dan transportasi yang memberikan dukungan transaksi bisnis di e-commerce, service kesehatan, rekreasi dan pemasaran produk keuangan lewat 100 % digital masuk ke kelompok itu.
Beberapa dari perusahaan di atas, telah IPO hingga sahamnya dapat diperoleh seperti Bukalapak. Selanjutnya ada pula yang merencanakan IPO seperti Blibli, Traveloka, dan GoTo. Untuk bidang berkaitan seperti bank digital sama, ada yang atau telah mendapatkan ijin sebagai bank digital, ada pula menyatakan diri akan berubah ke arah itu.
Untuk beberapa perusahaan yang telah IPO dan laporan keuangannya bisa dijangkau oleh khalayak, umumnya masih rugi. Atau kalaulah untung, angkanya masih kecil dan kadang andilnya tidak dari aktivitas operasional tetapi dari yang karakternya non operasional hingga tidak diketahui apa sanggup dipertahankan atau mungkin tidak.
Secara esensial atau kekuatan hasilkan keuntungan, bila dibanding dengan beberapa perusahaan old economy yang telah mapan seperti BBCA, BBRI, TLKM, BMRI, BBNI, GGRM, UNVR, ASII yang labanya telah triliunan bahkan juga beberapa puluh triliun /tahun rasanya seperti langit dan bumi.
Bahkan juga kapitalisasi pasar yang dihitung berdasar harga saham x jumlah saham tersebar, ARTO berharga Rp 210 triliun lebih dari 2x lipat dibanding dengan BBNI yang berharga “cuman” Rp 100 Triliun. Untuk saham bank yang lain seperti berikut BBCA Rp 807 triliun, BBRI Rp 484 triliun, dan BMRI Rp 284 triliun.
Tentukan Saham Old Economy atau New Economy ?
Dalam kerangka pengendalian reksa dana, manager investasi sebagai pengurus ditempatkan pada opsi. Apa melakukan investasi pada perusahaan Old Economy yang bisa dibuktikan telah sanggup cetak keuntungan triliunan atau memilh perusahaan New Economy yang mode usahanya belum juga bisa dibuktikan tetapi harga sahamnya naik berlipat ganda?
Perlu dimengerti, performa investasi reksadana TIDAK diukur berdasar berapa besar keuntungan yang diciptakan beberapa perusahaan dalam portofolio investasinya. Tetapi pada peningkatan atau pengurangan HARGA sahamnya.
Secara simpel, walau cetak keuntungan Rp 14.5 triliun, investor yang beli saham BBCA dari sejak awalnya tahun masih rugi 3 % karena harga sahamnya turun. Kebalikannya walau perusahaannya masih rugi Rp 46 miliar, investor yang beli ARTO dari sejak awalnya tahun sudah untung 237 %.
Reksadana sebagai pemegang saham, performanya akan ikuti harga saham bukan keuntungan bersih yang diciptakan perusahaan itu.
Pada kondisi ini, memilih saham new economy adalah opsi yang logis. Nalar investasi Reksadana gampang dimengerti oleh investor dan didukung dengan hype atau sentimen yang tinggi dari investor.
Kesuksesan Bukalapak menggalang IPO sebesar Rp 21 triliun yang disebut paling besar sejauh riwayat sebagai bukti jika keinginan investor untuk saham di bidang ini benar-benar kuat.
Resiko Pilih Saham New Economy
Meskipun begitu, saham new economy bukanlah tanpa resiko. Semua saham mempunyai resiko fluktuasi harga, baik itu saham old atau new economy. Dan jika sedang turun, tanpa ampun bisa juga sampai beberapa puluh %.
Yang membandingkan, perusahaan yang sanggup cetak keuntungan yang besar dan stabil tumbuh, saat harga turun akan makin memikat untuk investor.
Ibaratnya mobil Mercy yang dijual murah dengan harga Avanza. Peluang harga akan naik kembali di masa datang semakin lebih tinggi.
Sementara untuk perusahaan yang mode usahanya belum bisa dibuktikan atau peningkatan harga lebih memercayakan sentimen atau hype sebentar, saat harga turun belum pasti menarik untuk investor.
Karena dari sejak awalnya orang memanglah belum percaya itu mobil Mercy, jadi saat turun, saat sebelum betul-betul percaya dengan brand-nya orang kemungkinan menghindar dahulu. Karena itu, peluang harga untuk mempunyai potensi kembali di masa datang lebih berat.
Dengan pemikiran itu, cukup banyak investasi reksadana saham yang portofolio investasinya masih dikuasai beberapa saham old economy.
Tetapi resikonya, untuk performa semenjak awalnya tahun, rerata masih di bawah IHSG yang tahun ini banyak digerakkan saham new economy.
Meskipun begitu, ada kepercayaan jika yang bernama perputaran itu selalu terjadi di bidang saham. Mustahil ada bidang yang naik terus-terusan kebalikannya mustahil ada juga bidang yang turun terus-terusan.
Bagaimana untuk Investor Reksadana?
Di Indonesia, beberapa manager investasi secara terbuka atau memberitahukan dalam materi penawarannya jika reksa dana yang mereka urus akan masuk ke bidang new economy. Ada pula yang tidak memberitahukan, tetapi sebetulnya telah melakukan investasi pada bidang ini.
Ada pula yang masih tetap yakin jika perputaran akan selekasnya terjadi, hingga dibanding masuk ke new economy yang telah mahal, lebih bagus menanti old economy untuk rebound.
Sebagai investor, terang-terangan benar-benar susah untuk tentukan tipe reksa dana dengan taktik mana yang akan lebih baik kedepannya. Pilihan yang lebih bagus ialah lakukan penganekaragaman pada reksa dana dengan taktik yang lain.
Jadi ingin old atau new economy yang naik, ia masih tetap memperoleh keuntungannya walau bukan yang paling optimal.