Hutang Indonesia Tembus 6.000 Triliun, Bisakah Pemerintah Membayarnya ?

Azza Azzahra

Wartaberitabaru.com – Hutang Indonesia Tembus 6.000 Triliun. Hal tersebut berdasar Laporan Keuangan BPK Badan Pemeriksa Keuangan yang merilis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020. pada ringkasan eksekutif yang dirilis tersebut, BPK mengungkapkan kekhawatiran besaran utang pemerintah Indonesia yang sudah mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun.

Menurut catatan, jumlah utang yang gigantik tersebut sudah melewati rekomendasi rasio dari International Moneter Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR). Pada penjelasan tersebut, terdapat revisi terkait kesinambungan fiskal. BPK menjelaskan, pandemi Covid-19 membuat pemerintah indonesia mengalami peningkatan defisit.

utang dan SILPA yang berdampak pada meningkatnya risiko pengelolaan fiskal. Atau trend penambahan utang dan biaya bunga yang melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto dan penerimaan negara, memunculkan kekhawatiran pada turunnya kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.

BPK juga menyebut, rasio utang Indonesia sudah melebihi batas rekomendasi dari IDR atau IMF. Dimana rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, padahal rekomendasi dari IMF hanya 25 hingga 35 persen. Selain itu, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebanyak 19,06 persen, dan rekomendasi IDR yaitu, 4,6 hingga 6,8 persen dan rekomendasi IMF 7 hingga 10 persen,

Yang mana Rasio utang Indonesia terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen, jauh diatas rekomendasi IDR sebesar 92 hingga 167 persen dan saran IMF yang menganjurkan 90 hingga 150 persen. Perlu diketahui saat ini, utang pemerintah tercatat berada di Rp 6.527,29 triliun atau setara dengan 41,18 persen terhadap PDB.

Hutang Indonesia

Pemerintah Harus Hati-Hati Mengelola Hutang.

Sebelum ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu memastikan pemerintah berusaha untuk menjaga batas aman Hutang , mengelola dengan hati hati dan lebih efisien.
Febrio menambahkan, pemerintah mengalami peningkatan hutang secara signifikan sejak 2020. Pengambilan hutang ini sebagai langkah menangani pandemi covid-19 dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.

Selain karena hal itu, kebijakan fiskal yang diambang batas menyebabkan implikasi pada defisit APBN yang terus melebar sampai 6,09 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, berdasar pada amanat UU no 2/2020, pemerintah akan mengembalikan defisit APBN ke bawah 3 persen PDB.

Tidak hanya itu, pandemi Covid-19 juga menyebabkan rasio utang meningkat cukup banyak dari 30,2 persen terhadap PDB pada 2019 menjadi 39,4 persen PDB pada 2020. Prediksinya, tahun ini rasio utang akan mencapai 41,1 persen dari PDB.Sebagai tindak lanjut, pemerintah akan meningkatkan efisiensi dari biaya utang, memperlebar basis investor, terus mendorong pendalaman pasar, juga penerbitan obligasi atau suku bunga daerah.

Dalam waktu yang sama, Pemerintah akan menggunakan utang sebagai instrumen menjaga keseimbangan melalui komposisi portofolio optimal untuk menjaga stabilitas makro ekonomi.

 

Hutang Indonesia Tembus Rp 6.527 Triliun, Peringatan untuk Pemerintah

Jumlah hutang yang mencapai 6.000 triliun lebih, Menurut Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, membuat indonesia berada dalam kategori ‘lampu merah’ melihat risiko dari utang tersebut.

Ada beberapa cara untuk melihat risiko dari hutang :

Pertama, kemampuan membayar diukur dengan membandingkan antara beban bunga utang dengan penerimaan pajak. menurut data APBN 2021, rasio beban bunga utang telah mencapai 25 persen dari target penerimaan pajak. Padahal, rasio pajak terus menurun diperkirakan hanya 8-8,1 persen pada 2021.

Kedua, kemampuan membayar hutang luar negeri. Hal ini bisa dilihat dari indikator Debt Service Ratio atau DSR, guna menakar porsi utang luar negeri terhadap sumber-sumber penerimaan valuta asing atau valas.
dari data BI, DSR per data Mei 2021 meningkat 23,5 persen lebih tinggi daripada posisi 2014 sebesar 18,3 persen. atau terjadi ketidak seimbangan antara kemampuan terbitnya utang luar negeri baru dengan penghasilan dari sisi ekspor, dan devisa lainnya sepanjang 8 tahun terakhir.

Ketiga, risiko penerbitan utang yang berbanding lurus dengan adanya taper tantrum dalam waktu dekat. dimana Taper tantrum mendorong investor lebih memilih aset yang aman dan melepas kepemilikan surat utang negara berkembang.

Keempat, terbitnya surat utang bisa menyebabkan crowding out effect. Yang menyebabkan terganggunya Investasi swasta ke sektor riil karena timbal balik penawaran surat utang pemerintah yang lebih menarik.

Yang lebih mengerikan, jika pemerintah kembali merevisi UU Keuangan 2003 dengan meluaskan batas rasio utang 60 persen dari PDB yang menjadi rambu risi

Also Read

Leave a Comment

Ads - Before Footer